Jumat, 19 November 2010

ANTARA TEKS AGAMA DAN NALAR

        Teks keagamaan (baca: al Qur’an) memang bak magnet, mungkin karena menawarkan spiritualitas, berhasil menyedot perhatian umat dan sering kali menjadi “remot kontrol” nalar umat beragama dengan “menendang” rasionalitas. Pada tahap selanjutnya, umat beragama sedemikian kokoh menjadikan teks-teks keagamaan sebagai sesuatu yang sakral, mutlak dan otoritatif sehingga merelakan akal budinya tunduk dibawah bayang-bayang teks-teks keagamaan tanpa ada kritik dan reserve (menjaga jarak dengan teks).

        Kalau kemudian teks keagamaan itu terlihat “renta”, loyo, dan tidak lagi mampu menjawab isu-isu kontemporer, pertanyaannya adalah apakah teks keagamaan itu yang “serba tidak meliputi”?
ataukah kita, para manusia yang dikaruniai akal budi tetapi “mengebiri”nya sendiri, yang kurang responsif? Dalam hal ini, melakukan kajian-kajian kritis dengan menangkap ruh/spirit serta “menghidupkan” teks keagamaan adalah sebuah keniscayaan.

       Kaitannya dengan kajian-kajian teks keagamaan, bahkan juga teks-teks non-keagaamaan, tidak diragukan lagi bahwa tidak ada buku lain yang telah menjadi bahan diskusi dan kajian seluas al Qur’an. Tidak hanya orang Islam, non muslim pun terlibat dalam diskusi dan kajian atas Kitab Suci ini. Dan, diakui ataupun tidak, tidak banyak hal sepelik ketika membicarakan al Qur’an. Bagaimana lokalitas Arab mempengaruhi proses pewahyuan dan sejauhmana ia dijadikan arena pertarungan makna-makna akibat tidak ada satu orang pun yang memiliki otoritas menterjemahkan, memahami, menafsirkan, dan memberikan kebenaran sebagai “monopoli” tafsir atas al Qur’an.

        Kepelikan dalam mengkaji al Qur’an ini, setidaknya bermuara pada dua hal. Pertama, sisi metafisis, dimana al Qur’an diyakini sebagai kumpulan kalam yang berdimensi ketuhanan an sich tanpa melibatkan unsur-unsur kemanusiaan. Disini, al Qur’an dipahami sebagai sesuatu yang suci karena bermuara pada satu transendensi yang absolut, yaitu Tuhan, sehingga sulit melakukan pengkajian secara empiris terhadap “wilayah tak terjamah” (untouchable), atau, meminjam istilah Fazlur Rahman, “zat yang sama sekali lain”.

        Kedua, sisi historis. dimana terdapat keterlibatan Muhammad sebagai penerima wahyu, yang notabenenya berdimensi manusia. Dalam prakteknya, “zat yang sama sekali lain” ini, “mendiktekan” al Qur’an dengan otoritas yang mutlak melalui suatu saluran, baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk “makna” dan ide. Hal ini berarti al Qur’an ditransmisikan oleh “zat yang sama sekali lain” dengan bahasa manusia. Dengan demikian telah terjadi “konversi”dengan apa yang bisa dan biasa dipahami oleh manusia, karena sebagai “zat yang sama sekali lain” dan tak terbatas oleh ruang dan waktu, tentu sangat berbeda dengan manusia yang terbatas oleh dimensi ruang dan waktu.

         Ketika wahyu masih berupa wacana verbal atau discourse, bukan teks, pada masa Nabi yang terjadi adalah proses internalisasi kewahyuan dalam kesadaran kaum beriman. Masyarakat Arab disekitar Mekkah dan Madinah memahami proses kewahyuan sebagai bagian dari pengamalan dan juga pengalaman kehidupan mereka sehari-hari, dimana mereka ikut berpartisipasi dalam pewahyuan, dalam menjawab persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Hal ini terbukti dengan adanya ayat-ayat yang memiliki latar belakang spesifik, yang dikenal dengan sebutan asbab al nuzul

        Dengan demikian, beragama dalam konteks wacana pewahyuan ini bukan berarti disiplin, pengaturan-pengaturan, apalagi birokrasi yang mengatur dan menertibkan. Dengan ketiadaan teks (baca: belum dibukukan), wahyu dapat diakses oleh siapa saja sesuai dengan kepentingan hidup mereka sehari-hari. Dengan kata lain, dimasa Nabi, belum ada makhluk bernama “penafsir atau tukang tafsir”. Walaupun posisi Nabi sebagai pemegang otoritas di Madinah, tapi hal itu tidak berlaku umum dalam dunia keseharian masyarakat di sekitar Mekkah dan Madinah. Mereka yang jauh dari Madinah akan memaknai dan menghayati sendiri ayat yang diperolehnya, tanpa harus menundanya untuk berangkat ke Madinah untuk mencari makna yang tepat dan ketat atas ayat yang bersangkutan karena memang belum ada “pembagian kerja” yang jelas dalam soal memaknai dan menghayati makna ayat. Ketika kaum muslimin menghadapi sebuah kasus, dimana al Qur’an tidak memberikan tuntunan secara eksplisit, maka kaum muslimin membentuk pendapatnya sendiri. Akan tetapi, pendapat yang telah dipertimbangkan ini tidak pernah diharapkan untuk bertentangan ataupun lepas dari ruh al Qur’an. Dan apabila seseorang, setelah berpikir kedua kalinya, teringat sebuah ayat yang bisa jadi relevan dengan masalah yang dihadapi, maka ia akan mengutip ayat tersebut. Jelasnya, kaum muslimin pada periode sangat awal menafsirkan al Qur’an secara sangat bebas, tidak rumit dan pelik sebagaimana yang berkembang pada masa-masa berikutnya.

         Namun demikian, sejarah mencatat bahwa al Qur’an kemudian dibukukan dan sekaligus dibakukan oleh khalifah Utsman bin Affan. Pertimbangannya adalah untuk menghindari kekacauan dan ketidakteraturan. Dan Negara saat itu membutuhkan ketertiban, keteraturan, harmoni dan stabilitas. Pluralisme bacaan dan versi pewahyuan mulai “dibredeli”, kemudian ditahbiskan versi resmi milik sang penguasa, al Qur’an versi Quraisy. Akibatnya, wahyu yang dulu dinamis mulai dilepaskan dan dipisah dari masyarakat dan kehidupan sehari-hari saat itu. Wahyu yang dulu secara gradual berakar dari dalam masyarakat, mulai tercerabut dari lingkungannya dimana ia tumbuh. Dan selanjutnya terjadi proses alienasi teks terhadap dunia keseharian masyarakat dan monopoli kelompok tertentu atas akses terhadap teks agama. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya komunitas-komunitas atau madzhab-madzhab penafsir, seperti Madzhab Kufah, Madzhab Bashrah, dan lain-lain.

         Secara jujur harus diakui bahwa diskursus Qur’an sangat sulit dijelaskan dengan bahasa yang sempurna, namun sebagai petunjuk yang berbentuk simbol (ayat) ia mesti ditafsirkan dan dita’wilkan apabila ingin membumi. Perpindahan wacana al Qur’an dari Corpus Resmi tertutup menuju corpus interpretatif, yaitu sejumlah komentar yang ditulis oleh berbagai mufassir, memang menimbulkan beraneka ragam wajah al Qur’an. Perwajahan itu adalah sah selama ia diakui tidak pernah menjadi al Qur’an. Artinya, manusia tetap dianjurkan untuk menafsirkan al Qur’an, selama penafsiran itu tidak dianggap sebagai satu-satunya dan final.
Ironisnya, yang terjadi tidaklah demikian karena dibawah monopoli generasi tafsir, teks berubah menjadi authority dan authorship sekaligus. Teks berbicara bukan karena memang demikianlah ia berbicara, tapi lebih karena ia dibuat bicara oleh sang pemegang otoritas, sang penafsir. Maka, yang penting bukan lagi wahyu versi masyarakat atau komunitas yang menginternalisasi wahyu dalam kehidupan sehari-hari mereka, tetapi tafsir versi Asy’ari, Syi’ah, Mu’tazilah, Syafi’i, Hanafi, dan sebagainya.

        Sebenarnya, munculnya komunitas-komunitas atau madzhab-madzhab penafsir tersebut adalah sebuah kewajaran, mengingat wahyu sendiri –seperti disebut diawal- “membuka pintu” seluas-luasnya untuk ditafsirkan dan dimaknai. Bahkan kita harus “menghormati” apa yang telah dilakukan oleh para penafsir itu. Bagaimanapun, para penafsir itu telah “membuka jalan” dengan melahirkan rumusan-rumusan bagi kajian teks keagamaan yang demikian luas dan komprehensip sehingga memberikan kemudahan bagi generasi berikutnya untuk melakukan kajian-kajian keislaman karena memunculkan berbagai alternatif penafsiran atas teks keagamaan. Dan pada gilirannya, akan muncul model penafsiran teks keagamaan yang lebih adaptif dan akomodatif terhadap ritme perubahan dan dinamika masyarakat.

       Namun sangat disayangkan, perkembangan berikutnya –setelah periode para penafsir itu- justru menunjukkan kecenderungan yang sebaliknya, yang muncul bukannya generasi yang lebih kreatif melainkan generasi yang terpaku pada teks. Dalam bidang hukum misalnya, setelah berkembang madzhab-madzhab hukum (Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki dan sebagainya), generasi berikutnya malah mengalami anti klimaks. Mereka, dengan sadar atau pun tidak, malah memasuki sebuah periode yang disebut periode jumud (keterpakuan tekstual) atau periode taqlid. Sistemisasi dan kristalisasi madzhab-madzhab hukum justru dijadikan batasan berijtihad dan pada gilirannya malah dinyatakan “tertutup”. Mengenai keadaan ini, Joseph Schacht berpendapat bahwa pada saat itu muncul semacam konsensus yang secara gradual memapankan dirinya bahwa tidak seorang pun boleh mengklaim memiliki kualifikasi untuk melakukan ijtihad mutlak dan bahwa seluruh aktifitas di masa mendatang harus dibatasi pada penjelasan, aplikasi, dan penafsiran terhadap terhadap doktrin-doktrin yang telah dirumuskan.

         Apa yang disampaikan oleh Joseph Schacht ini tidak sepenuhnya salah, karena memang fenomena seperti itulah yang terjadi, dimana model keberagamaan –minimal dalam masalah hukum- mengarah kepada taqlid, suatu istilah yang pada umumnya diartikan sebagai penerimaan mentah-mentah terhadap doktrin-doktrin madzhab dan otoritas-otoritas yang telah mapan. Dengan demikian, sebenarnya bukan teks keagamaan yang membelenggu nalar, melainkan sikap kita sendiri yang “mengebiri” nalar kita.

0 komentar:

Posting Komentar